Teknologi dalam Peradaban Islam
Peradaban Islam sangat berbeda dengan Yunani, Romawi dan Bizantium dalam memandang teknologi. Para cendekiawan Muslim di era kekhalifahan menganggap teknologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan yang sah. Fakta itu terungkap berdasarkan pengamatan para sejarawan sains Barat di era modern terhadap sejarah sains di Abad Pertengahan.
”Para ilmuwan Muslim memberi perhatian pada semua jenis pengetahuan praktis, mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan subyek-subyek teknologis berdampingan dengan telaah-telaah teoritis,” ungkap Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam Islamic Technology: An Illustrated History.
Sejumlah kitab dan risalah yang ditulis para ilmuwan Muslim tercatat telah mengklasifikasi ilmu-ilmu terapan dan teknologis. Menurut al-Hassan, hal itu dapat dilihat dalam sederet buku atau kitab karya cendikiawan Muslim, seperti; Mafatih al-Ulum, karya al-Khuwarizmi; Ihsa al-Ulum (Penghitungan Ilmu-ilmu) karya al-Farabi, Kitab al-Najat, (Buku Penyelamatan) karya Ibnu Sina dan buku-buku lainnya.
Simaklah penjelasan al-Amiri tentang mekanika dalam kitabnya yang bertajuk al-Ilam bimaqib al-Islam (Pengantar tentang Keunggulan-keunggulan Islam). Menurut al-Amiri, mekanika merupakan disiplin ilmu yang menerapkan matematika dan ilmu alam.
”Mekanika memungkinkan seseorang menaikkan air yang terpendam di bawah kulit bumi dan juga mengangkat air dengan kincir atau air mancur, mengakut barang-barang berat dengan sedikit tenaga, membangun lengkungan jembatan di atas sungai yang dalam dan melakukan berbagai hal lainnya,” papar al-Amiri seperti dikutip al-Hassan dan Hill.
Al-Amiri berpendapat bahwa ilmu mekanika sebagai cabang matematika. Tak heran, jika ia memasukannya dalam sebuah kelompok bersama aritmatika, geometri, dan musik. ”Dari penyelidikan yang kami lakukan terhadap ilmu-ilmu matematika, dapat dikatakan bahwa sama sekali tak terdapat kontradiksi antara ilmu-ilmu tersebut dengan ilmu-ilmu keagamaan,” tutur al-Amiri yang wafat pada 381 H/ 991 M.
Di era keemasan Islam, para cendekiawan Muslim telah mengelompokkan ilmu-ilmu yang bersifat teknologis sebagai berikut; ilmu jenis-jenis bangunan, ilmu optik, ilmu pembakaran cermin, ilmu tentang pusat gravitasi, ilmu pengukuran dan pemetaan, ilmu tentang sungai dan kanal, ilmu jembatan, ilmu tentang mesin kerek, ilmu tentang mesin-mesin militer serta ilmu pencarian sumber air tersembunyi.
Selain itu, peradaban Islam juga telah mengenal ilmu navigasi, ilmu tentang jam, ilmu tentang timbangan dan pengkuran serta ilmu tentang alat-alat genial. Menurut al-Hassan, teknik mesin dan teknik sipil yang digolongkan sebagai ilmu matematika, bukan satu-satunya subyek teknologis yang dikelompokkan sebagai sains.
”Teknologi-teknologi non-matematis seperti kimia, produksi industri dan pertanian juga telah dianggap sebagai sains,” papar al-Hassan dan Hill. Pada era kejayaan peradaban Islam, ada pula topik-topik teknologis yang ditemukan pada subyek-subyek saintifik murni. Al-Hassan mencontohkan, hal itu terdapat pada ilmu obat-obatan. Buku-buku farmasi, di zaman itu, memuat informasi yang amat bermanfaat tentang sifat-sifat dan cara pembuatan berbagai produk organik dan anorganik.
”Aritmatika juga memuat kalkulasi teknik untuk para kekayasawan, sedangkan astronomi memiliki risalah-risalah tentang konstruksi alat ukur dan lainnya,” ujar al-Hassan yang juga mantan direktur The Institute for the History of the Arabic Science, Universitas Aleppo itu. Begitulah cendekiawan Muslim di zaman kejayaan Islam menempatkan teknologi.
Rekayasawan di Era Kekhalifahan
Para penguasa dan masyarakat di zaman kekhalifahan Islam menempatkan para rekayasawan (engineer) dalam posisi yang tinggi dan terhormat. Mereka diberi gelar muhandis. Banyak di antara ilmuwan Muslim, pada masa itu, yang juga merangkap sebagai rekayasawan.
Al-Kindi, misalnya, selain dikenal sebagai fisikawan dan ahli metalurgi adalah seorang rekayasawan. Selain itu, al-Razi juga yang populer sebagai seorang ahli kimia juga berperan sebagai rekayasawan. Al-Biruni yang masyhur sebagai seorang astronom dan fisikawan juga seorang rekayasawan.
”Namun, beberapa tokoh seperti al-jazari mengkhususkan dirinya hanya sebagai rekayasawan,” papar Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam Islamic Technology: An Illustrated History. Sebagian besar rekayasawan praktisi di era kejayaan Islam tak menulis buku, sehingga namanya kurang dikenal.
Salah satu cara yang mereka lakukan untuk mengabadikan namanya agar dikenal adalah dengan cara memahatkan namanya pada bangunan-bangunan yang mereka dirikan. Al-Hassan mencontohkan, pada gerbang kota Mardin di Diyar Bakr tergores sebuah tulisan bertarikh 197 H/910 M atas nama Khalifah al-Muqtadir bersama dua rekayasawan yang mendirikan bangunan itu.
”Salah satunya adalah Ahmad bin Jamil al-Muhandiz,” tutur al-Hassan. Selain itu, para rekayasawan juga menulis istilah al-mi’mar untuk menyebut seorang arsitek. Sedangkan bagi matematikus-teknik, dikenal istilah al-hasib yang berarti ”orang yang menghitung”. Sedangkan rekayasawannya mendapat gelar hasib.
‘‘Seorang hasib dan rekayasawan atau arsitek kadangkala bertemu untuk melakukan konsultasi bersama,” ujar al-Hassan. Pada masa itu, sebagian rekayasawan berasal dari golongan pekerja. Mereka memulai sebagai pekerja bangunan, tukang kayu, atau pekerja mekanik. Setelah itu, mereka mempelajari rekayasa dan ilmu-ilmu lain untuk menjadi rekayasawan dan arsitek.
”Ada pula rekayasawan yang berasal dari ilmuwan yang mahir dalam berbagai bidang pertukangan, yang kadang kala mereka praktikkan,” ungkap al-Hassan. Para rekayasawan Muslim tak hanya dihormati dalam masyarakat, tetapi juga menempati kedudukan tinggi dalam pemerintahan.
Rekayasawan yang mendapat posisi penting di pemerintahan antara lain Banu Musa bersaudara. Mereka sangat dihormati dan disukai Khalifah al-Ma’mun. Tak hanya itu, mereka juga memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan politik di Baghdad, pada zaman itu.
Kadang kala, para rekayasawan dibuatkan kantor-kantor penting. Mereka juga diberi gaji serta penghargaan yang tinggi. Al-Hassan mengungkapkan, di istana Sultan Kerajaan Mamluk, terdapat kantor Muhandis Al Amair atau ‘Arsitek Bangunan’. Dia bertanggung jawab atas semua bangunan dan penilaian bangunan, perencanaan kota.
Para rekayasawan di Kerajaan Mamluk diberi gelar oleh pejabat tinggi adtara lain dengan sebutan ”Yang Mulia, Yang Terhormat, Yang Terpercaya”. Pada saat-saat tertentu gelar itu bisa bertambah tinggi lagi.
Untuk mengerjakan sebuah proyek atau pekerjaan yang sangat penting dibentuk komite rekayasawan. Komite ini bertugas untuk merancang dan mengawasi keseluruhan proyek. Hal itu terjadi saat Khalifah al-Mansur memutuskan untuk membangun kota Baghdad. Sebelum pembangunan dilakukan, Khalifah mengirimkan para rekayasawannya untuk melakukan studi banding ke berbagai negara Islam.
”Para rekayasawan juga bertindak pula sebagai kontraktor,” ungkap al-Hassan. Contohnya, pemerintah meminta mereka untuk menggali sebuah kanal dalam waktu tertentu, dengan biaya yang ditentukan sebelumnya. ”Mereka akan mengalokasikan bagian-bagian pekerjaan itu pada subkontraktor.” Sistem kerja ini telah dikenal masyarakat Islam di kota Baghdad sejak abad ke-9 M.
Sumbangan Para Rekayasawan dalam Teknik Sipil
Para rekayasawan Muslim telah berhasil membangun sederet karya besar dalam bidang teknik sipil berupa; bendungan, jembatan, penerangan jalan umum, irigasi, hingga gedung pencakar langit. Sejarah membuktikan, di era keemasannya peradaban Islam telah mampu membangun bendungan jembatan (bridge dam). Bendung jembatan itu digunakan untuk menggerakkan roda air yang bekerja dengan mekanisme peningkatan air. Bendungan jembatan pertama dibangun di Dezful, Iran.
Bendung jembatan itu mampu menggelontorkan 50 kubik air untuk menyuplai kebutuhan masyarakat Muslim di kota itu. Setelah muncul di Dezful, Iran bendung jembatan juga muncul di kota-kota lainnya di dunia Islam. Sehingga, masyarakat Muslim pada masa itu tak mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Selain itu, di era kekhalifahan para insinyur Muslim juga sudah mampu membangun bendungan pengatur air diversion dam. Bendungan ini digunakan untuk mengatur atau mengalihkan arus air. Bendungan pengatur air itu pertama kali dibangun insinyur Muslim di Sungai Uzaym yang terletak di Jabal Hamrin, Irak. Setelah itu, bendungan semacam itu pun banyak dibangun di kota dan negeri lain di dunia Islam.
Pencapaian lainnya yang berhasil ditorehkan insinyur Islam dalam bidang teknik sipil adalah pembangunan penerangan jalan umum. Lampu penerangan jalan umum pertama kali dibangun oleh kekhalifahan Islam, khususnya di Cordoba. Pada masa kejayaannya, pada malam hari jalan-jalan yang mulus di kota peradaban Muslim yang berada di benua Eropa itu bertaburkan cahaya.
Selain dikenal bertabur cahaya di waktu malam, kota-kota peradaban Islam pun dikenal sangat bersih. Ternyata, pada masa itu para insinyur Muslim sudah mampu menciptakan sarana pengumpul sampah, berupa kontainer. Sesuatu yang belum pernah ada dalam peradaban manusia sebelumnya. hri[republika]