Indahnya Pengadilan Islam
Indahnya Pengadilan Islam
Oleh: Azhari
hayatulislam.net – Dimasa kejayaan Kekhilafahan Islam keadilan benar-benar ditegakkan, pengadilan tidak membedakan antara keluarga pejabat pemerintah (Khilafah) dan rakyat jelata, antara bangsawan dan rakyat biasa, antara sikaya dan simiskin, bahkan Amirul Mukminin (khalifah)-pun bisa kalah dipengadilan ketika berhadapan dengan rakyat yang dipimpinnya. Para Qadhi (hakim) lebih takut kepada Allah swt daripada kepada penguasa.
Tidak seperti yang terjadi saat ini, pejabat yang telah nyata-nyata terlibat korupsi puluhan milyar masih bebas berkeliaran diluar penjara dan masih aktif menjabat. Bagaimana mungkin ia akan memberikan keputusan yang tepat, jika dirinya bermasalah. Seorang pejabat yang terlibat korupsi, maka ia tidak akan bisa bersikap tegas terhadap kasus-kasus korupsi karena seperti kata pepatah: “Seperti menepuk air didulang”. Artinya, jika ia bersikap tegas maka akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Sedangkan Ustdaz yang memperjuangkan syari’at Islam, dalam keadaan lemah diseret dari tempat tidurnya di Rumah Sakit dan dijebloskan kepenjara.
Dalam pengadilan dikenal mafia peradilan dimana perkara bisa diperjual-belikan, keputusan hakim sangat tergantung dengan besarnya uang yang bisa disediakan oleh tersangka. Pengadilan dilakukan bertingkat-tingkat, pengadilan tingkat bawah, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung, dan keputusannya bisa berubah-ubah. Para hakim itu telah menjual dunianya untuk akhiratnya, bagaimana hujjah (argumentasi) para hakim itu di Yaumil Akhir nanti dihadapan Allah swt. Dalam Islam hanya ada satu pengadilan, jika Qadhi (hakim) telah memutuskan perkara maka keputusan itu bersifat tetap dan tidak akan bisa diubah oleh pengadilan lain, bahkan oleh Khalifah sekalipun. Kecuali, ada bukti-bukti atau kesaksian baru yang berbeda dari sebelumnya.
Berikut sekelumit kisah para Qadhi dalam menghukumi beberapa kasus dipengadilan Islam, penuh kecerdasan, kebijaksanaan dan ketaqwaan kepada Allah swt.
SYURAIH BIN HARITS AL-KINDI
Syuraih dilahirkan di daerah Yaman, ia orang pertama yang masuk Islam disaat Islam mulai menjamah daerah Yaman. Ia berharap dapat bertemu Rasulullah saw dan menjadi sahabatnya, tetapi taqdir tidak mempertemukannya dengan Rasulullah saw.
Syuraih diangkat menjadi Qadhi dimasa pemerintahan (kekhilafahan) Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Thalib dan Mu’awiyah, beliau menjadi Qadhi di Kufah dan hampir selama 60 tahun menjabatnya. Qadhi Syuraih terkenal dengan kebijaksanaan, kelihaian dan ketegasannya.
Suatu hari Amirul Mukminin (Khalifah) Umar bin Khaththab membeli kuda dalam keadaan sehat dan baik, Umar menaiki kuda itu pulang. Tetapi tak berapa jauh kuda itu tidak bisa lagi berlari. Umar kemudian mengembalikan kuda itu kepada penjualnya, tetapi penjualnya menolak karena kudanya dijual dalam keadaan baik. Keduanya kemudian mengadu kepada Qadhi Syuraih.
Qadhi Syuraih bertanya kepada Umar: “Apakah anda membeli kuda ini dalam keadaan baik?”
Jawab Umar: “Benar”
Qadhi Syuraih: “Ambillah yang telah anda beli ya Amirul Mukminin, atau kembalikan kuda ini dalam keadaan seperti saat anda membelinya”
Suatu hari Khalifah Ali bin Thalib menemukan baju besinya ditangan seorang kafir dzimmi (orang kafir yang dilindungi oleh Khilafah Islamiyah, dalam riwayat lain kafir dzimmi ini seorang Yahudi), kemudian Ali meminta baju besi itu: “Ini adalah milikku yang jatuh dari ontaku pada malam anu dan ditempat anu”
Kafir dzimmi menjawab: “Ini adalah barangku dan berada ditanganku ya Amirul Mukminin”
Setelah tidak ada keputusan, mereka berdua menghadap Qadhi Syuraih. Ali dan kafir dzmmi menjelaskan permasalahannya, Qadhi Syuraih berkata kepada Ali: “Aku tidak meragukan kejujuranmu ya Amirul Mukminin, bahwa barang-barang ini milikmu. Tetapi harus ada dua orang saksi yang menyaksikan kebenaran tuduhanmu”
Jawab Ali: “Aku punya dua orang saksi, pembantuku Khanbar dan puteraku Hasan”
Qadhi Syuraih: “Tetapi kesaksian anak bagi ayahnya tidak berlaku, ya Amirul Mukminin”
Ali terperanjat: “Subhanallah, seorang ahli syurga (Hasan) ditolak kesaksiannya?. Apakah engkau tidak pernah mendengar Rasulullah saw berkata bahwa Hasan dan Husain adalah pemuka para pemuda ahli syurga?
Qadhi Syuraih: “Aku tahu, hanya saja kesaksian seorang anak atas ayahnya tidak diperkenankan”
Ali berkata kepada kafir dzimmi: “Ambillah barang itu karena aku tidak punya saksi lagi selain mereka”
Kafir dzimmi dengan takjub berkata: “Aku bersaksi bahwa barang itu milikmu ya Amirul Mukminin. Ya Allah, Amirul Mukminin menghadapkan aku kedepan Qadhinya dan Qadhinya memenangkan aku. Kuakui bahwa agama yang mengajarkan seperti ini adalah agama yang benar dan suci, Asyhadualla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadarrasulullah. Karena barang ini milikmu, maka kukembalikan kepadamu”
Jawab Ali: “Karena engkau kini seorang muslim, maka kuhadiahkan baju besi ini untukmu, juga kudaku ini”
Kafir dzimmi ini ikut memerangi kaum Khawarij hingga syahid. Subhanallah.
IYAS BIN MU’AWIYAH AL-MUZNI
Iyas lahir tahun 46 H didaerah Yamamah di Najad, kemudian tinggal di Basrah (Iraq). Ia diangkat sebagai Qadhi untuk daerah Basrah (Iraq), beliau dikenal kecerdasan, ketangkasan dan kelihaiannya dalam memutuskan perkara.
Iyas menjabat sebagai Qadhi dimasa pemerintahan (kekhilafahan) Umar bin Abdul Aziz, Umar bin Abdul Aziz kita kenal sebagai cicit Umar bin Khaththab dan dimasa pemerintahannya Islam mengalami kemakmuran luar biasa. Sangat sulit menemukan rakyat yang membutuhkan bantuan Baitul Mal (kas negara).
Suatu hari datang dua orang yang bersengketa kepada Qadhi Iyas, yang satu telah menitipkan harta kepada temannya tetapi temannya tidak mengakui telah menerima titipan harta itu.
Iyas bertanya: “Dimana engkau menitipkan harta itu?”
Pemilik harta menjawab: “Disuatu tempat bernama anu dan disana ada sebatang pohon besar, kami duduk dan makan bersama kemudian kuserahkan harta itu padanya”
Iyas berkata kepada pemilik harta: “Pergilah kesana, mungkin akan mengingatkan lokasi dimana engkau menaruh harta itu. Lalu kembali kemari dan lapor padaku”
Iyas berkata kepada sitertuduh: “Tunggulah disini sampai temanmu kembali”
Kemudian Iyas melanjutkan pekerjaannya, sambil terus memperhatikan sitertuduh. Setelah tertuduh agak tenang, dia berkata: “Apakah kira-kira temanmu telah sampai ditempat dia menitipkan hartanya kepadamu?”
Tanpa sadar sitertuduh menjawab: “Belum tempatnya sangat jauh”
Maka Iyas berkata: “Wahai musuh Allah, engkau hendak memungkiri harta itu sedangkan engkau tahu dimana engkau menerimanya!”
Karena kita ciptaan Allah swt, maka syari’at Allah swt jualah yang dapat memutuskan perkara secara adil dan bijaksana. Kita merindukan pengadilan dan hakim-hakim yang amanah dalam memutuskan perkara berdasarkan syari’at Islam dinegeri kita ini, sehingga rakyat merasakan keadilan Islam yang indah itu.
Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An-Nisaa’ 59).
Wallahua’lam
Maraji’:
1. Insan teladan dari para Tabi’in – Abdurrahman Ra’fat Basya
2. Biografi Umar bin Abdul Aziz penegak keadilan – Abdullah bin Abdul Hakam
3. Tarikh Khulafa’ - Imam As-Suyuthi